RUMAH ADAT RIAU - SELASO JATUH KEMBAR




Rumah Adat - Riau memang paling kaya dengan keragaman seni dan budayanya, laksana halnya keragam format dari lokasi tinggal adat yang ada di kabupaten dan kota di Provinsi Riau. Keragaman itu terjadi sebab secara geografi provinsi Riau terpisahkan laut antara satu pulau dengan lainnya. Mungkin jaman dahulu hal tersebut menjadi dampak dari sulitnya komuikasi sampai-sampai saling mengisolasi diri. Maka antara satu wilayah dan lainya meski agak serupa tapi format budaya dan rumahnya tidak banyak berbeda.


Namun dari keragaman format rumah tradisional yang ada di Riau, ada keserupaan jenis dan gaya arsitektur. Dari jenisnya, lokasi tinggal tradisional masyarakat Riau pada umumnya ialah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan format bangunan persegi panjang. Dari sejumlah bentuk lokasi tinggal ini nyaris serupa, baik tangga, pintu, dinding, rangkaian ruangannya sama, dan mempunyai ukiran melayu laksana selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll.

Keumuman berikutnya terletak pada arah lokasi tinggal tradisional masyarakat Riau yang di bina menghadap ke sungai. Ini terjadi sebab masyarakat tardisional Riau memakai sungai sebagai sarana transfortasi. Maka tak heran andai kita bakal menemukan tidak sedikit perkampungan masyarakat Riau terletak di sepanjang pinggiran sungai Siak, Mandau, Siak Kecil dan pada anak sungai di pedalam lainnya. Karena tipographi pemukiman masyarakat Riau yang demikian, maka anda akan mendapati pangkalan lokasi menambatkan perahu dan pun tempat mandi di muka lokasi tinggal masing-masing. Di samping itu, sampai tahun 70-an, kampung-kampung itu tidak mengenal batas-batas tertentu, laksana halnya perkampungan masyarakat pantai. Kampung-kampung mereka seringkali dinamai menurut nama sungai atau tanaman yang ada di sana. Namun hari ini tentunya sudah dibuatkan sarana adminstrasi laksana Balai Desa, dll dengan istilah “pemekaran”.

Maka menjadi keanehan tersendiri saat Rumah Selaso Jatuh Kembar dikemukakan sebagai lokasi tinggal tradisional Riau guna dibuatkan anjungannya di TMII pada tahun 1971. Karena ternyata Rumah Selaso Jatuh Kembar ialah sejenis bangunan berbentuk lokasi tinggal (dilingkupi dinding, berpintu dan jendela) tapi kegunaannya bukan untuk lokasi tinggal tetapi untuk musyawarah atau rapat secara adat sebab “rumah” ini tidak mempunyai serambi atau kamar. Jika dideskripsikan, denah lokasi tinggal Selaso Jatuh Kembar melulu mempunyai Selasar di unsur depan. Tengah lokasi tinggal pada unsur tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo. Kemudian format rumah mengecil pada unsur telo yang bermanfaat sebagai lokasi makan, dll. Dan pada unsur belakang ada dapur.
Balai Salaso Jatuh memiliki selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, sebab itu disebutkan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik lokasi tinggal adat maupun balai adat diberi dekorasi terutama berupa ukiran. Di puncak atap tidak jarang kali ada dekorasi kayu yang mencuat keatas bersilangan dan seringkali hiasan ini diberi ukiran yang dinamakan Salembayung atau Sulobuyung yang berisi makna pernyataan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu dinamakan dengan Selaso. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna lokasi tinggal yang mempunyai dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.
Rumah Selaso Jatuh Kembar dihiasi corak dasar Melayu Riau lazimnya bersumber dari alam, yaitu terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut format asalnya laksana bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam format yang telah diabstrakkan atau dimodifikasi sampai-sampai tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi melulu menggunakan namanya saja laksana itik kembali petang, semut beriring, dan lebah bergantung.

Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai ialah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Padahal semenjak jaman dahulu gaya arsitektur bangunan dan seni ukir masyarakat Riau paling kuat diprovokasi oleh corak Hindu-Budha. Peralihan gaya pada corak ini terjadi sebab orang Melayu Riau kekinian pada lazimnya beragama Islam. Sehingga corak fauna (fauna) dikhawatirkan menjurus pada hal-hal yang berbau “keberhalaan”. Jika anda telusuri sejarah kelahiran artikel melayu (aksara arab) dan corak seni ukir tumbuhan masyarakat Melayu Riau ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan Agama Islam mulai dari jaman kerajaan Malaka.

Ada juga corak fauna yang dipilih lazimnya yang berisi sifat tertentu atau yang sehubungan dengan mitos atau keyakinan tempatan. Corak semut digunakan walau tidak dalam format sesungguhnya, dinamakan semut beriring sebab sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah, dinamakan lebah bergantung, sebab sifat lebah yang tidak jarang kali memakan yang bersih, lantas mengeluarkannya guna dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga sehubungan dengan mitos mengenai keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Di samping itu, benda-benda antariksa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak sebab berisi nilai pandangan hidup tertentu pula. Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yaitu wajik (Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada pun corak kaligrafi yang dipungut dari buku Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya format hiasan. Di sisi lain, pengembangan tersebut juga memperkaya nilai pandangan hidup yang terdapat di dalamnya